Rabu, 28 Januari 2009

School Of Writing (SOW) Angkatan ke-2


Puji Tuhan, SOW angkatan ke-1 telah berlangsung dan diikuti oleh sekitar 30 peserta dari berbagai kalangan dan profesi. Ada berbagai tanggapan positif dari para peserta yang mengikuti acara ini. Salah satu diantaranya adalah pendapat dari Ibu Ratnadewi Wibowo: "Ikut SOW lalu sangat inspiring dan meng-encourage saya untuk menulis".
SOW angkatan ke-2 akan diadakan pada tgl. 21 Februari, 9 Maret dan 28 Maret 2009. Bertempat di Gd. Kharisma Lt. 3 Jl. BKR 98 A Bandung.
Materi yang akan diajarkan adalah: Menulis Renungan, Menulis Buku, Menulis Biografi, Menulis Cerpen, Menulis di Majalah, Tehnik Wawancara, Tehnik Editing, Manajemen Penerbitan Buku.
Biaya pendaftaran Rp100.000 dan biaya kontribusi peserta RP500.000. (Sudah termasuk makalah, member card, snack, makan siang dan sertifikat)
Daftarkan diri Anda segera, tempat terbatas. Batas akhir pendaftaran tgl. 18 Februari 2009.
50 pendaftar pertama akan mendapatkan buku "Menerbitkan Buku Renungan"
Pendaftaran hubungi 081394401799; 08888255416; 08818223608

11 RESEP CESPLENG MENGATASI KEMACETAN MENULIS

“Kemacetan menulis semata-mata adalah soal motivasi, bukan soal teknik penulisan. Jika kita bisa bangkitkan motivasi kembali, maka tidak ada lagi kemacetan menulis.”~ Edy Zaqeus

Ketika saya baru saja mendapatkan ide tema buku yang saya anggap sangat potensial untuk jadi buku best-seller, maka gairah dan semangat saya untuk menulis begitu meluap-luap dan seolah tak terbendung lagi. Ketika mencoba menuliskan gagasan-gagasan itu, ternyata aliran ide seperti membanjir dan menulis seperti tidak mau berhenti. Kalau sudah begini, serasa naskah buku bisa diselesaikan dalam waktu secepat-cepatnya. Terlebih lagi bila teknik menulis cepat bisa dijalankan dengan semaksimal mungkin.
Namun, penulis juga manusia. Yang namanya semangat atau gairah menulis itu bisa naik turun kapan saja dan karena aneka sebab. Mungkin karena kehilangan konsentrasi, interupsi oleh kesibukan lain, muncul rasa malas, menunda-nunda, atau karena tiba-tiba mood lagi turun, maka sebentar saja kemacetan membayangi proses penulisan. Saya sering juga mengalami hal semacam ini. Dan, saya yakin hampir semua penulis, baik pemula maupun yang sudah sangat berpengalaman pun, pasti pernah mengalami kemacetan dalam menulis.
Jadi, manakala sedang macet menulis, kita tidak perlu panik. Ini wajar, lumrah banget! Yang tidak lumrah alias berbahaya adalah bila kita, dari semula yang cuma macet temporal atau sementara, lalu jadi macet permanen. Dengan kata lain, akan berbahaya sekali bila kita jadi hilang motivasi dalam melanjutkan proses penulisan. Dan kemudian, kita mulai beranggapan bahwa diri kita memang tidak mampu menulis buku.
Karena kemacetan menulis adalah gejala yang wajar, maka sesungguhnya yang membedakan kualitas seorang penulis adalah pada penyikapan terhadap masalah ini. Penulis yang belum matang akan mudah dipatahkan semangatnya oleh masalah-masalah yang menghambat proses kreatif mereka. Sementara, penulis berpengalaman dan bermotivasi tinggi selalu mencari cara untuk memecahkan masalah yang dia hadapi.
Menurut pengamatan saya, penulis yang belum matang dan rendah motivasinya akan cenderung mencari berbagai alasan pembenar atas kemacetan yang dia alami. Sedikit demi sedikit, dia akan undur diri dan kemudian “tutup buku”, alias menyerah.
Sementara, penulis berpengalaman bisa saja macet atau mengalami beragam kesulitan. Tetapi, dalam kemacetan dan kesulitan-kesulitannya itu, dia terus memacu diri untuk segera mencari jalan keluar. Kalau pun gagal menyelesaikan suatu tema tulisan, dia tidak menyerah. Tapi, segera saja dia beralih ke proses penulisan lainnya. Dia bisa beralih, mungkin juga berhenti sejenak, tetapi tidak menyerah atau berhenti secara permanen.
Dari berbagai wawancara saya dengan para penulis best-seller (baca di Pembelajar.com), saya dapati bahwa setiap penulis punya cara-cara yang unik untuk mengatasi kemacetan. Saya sendiri juga mengembangkan cara-cara yang khas untuk menyelesaikan problem tersebut. Saya yakin, sebagian besar di antara cara-cara yang akan saya paparkan di bawah ini mungkin sudah pernah Anda coba. Atau, mungkin malah sudah merupakan bagian dari cara Anda mengatasi kemacetan. Baiklah, kita sharing bersama-sama mengatasi momok kemacetan.
1. Berhentilah dan lakukan relaksasi. Ketika mulai penat dan kebingungan meneruskan proses penulisan, saya langsung berhenti sejenak. Saya tinggalkan laptop dan langsung saja mencoba relaksasi. Relaksasi tidak harus seperti orang bermeditasi, tapi bisa saja hanya jalan-jalan mengelilingi ruangan, cari angin di depan rumah, membasuh muka, mendengarkan instrumen musik yang lembut. Pada saat yang sama, saya terus berusaha menenangkan diri atau kalau bisa mengosongkan pikiran. Biasanya, setelah pikiran relatif lebih relaks dan mendapatkan kesegaran, tanpa disengaja pun bisa muncul ide-ide dan semangat baru untuk melanjutkan proses penulisan.
2. Berhenti dan mainkan game apa saja. Ini sebenarnya untuk mengatasi kelelahan dan kebosanan saat menulis. Ada kalanya ketika macet lalu main game di laptop, tiba-tiba justru muncul ide-ide baru yang menarik. Kalau sudah begitu, saya justru ingin cepat-cepat menyelesaikan permainan dan segera menuliskan ide tersebut. Intinya, saya alihkan perhatian atau ambil jarak sejenak dengan proses penulisan. Tapi, hati-hati juga kalau sampai keterusan main game.
3. Bongkar bank ide dan tulislah apa saja. Apabila yang muncul baru sejenis kebosanan atau rasa penat, saya suka berhenti sejenak, lalu melihat-lihat bank tema atau daftar ide judul buku yang saya kumpulkan. Saya sudah berhasil menginventarisir lebih dari 700-an judul atau tema. Kadang dengan melihat-lihat bank ide tersebut, saya jadi berminat menuliskan sesuatu di bawahnya. Pokoknya, menulis apa saja. Tak jarang, dari situ malah muncul ide-ide yang lebih fresh. Dan, sering pula proses tersebut mendorong saya untuk kembali dalam proses penulisan naskah yang sempat terhenti sejenak.
4. Buat kotak sampah tulisan. Adakalanya kemacetan disebabkan oleh suatu kalimat, konsep, kasus, contoh, bab, subbab, atau hanya suatu paragraf yang sulit dikembangkan lagi atau diuntai dengan paragraf-paragraf berikutnya. Ketika akan dibuang, kita merasa sayang, karena mungkin itu merupakan gagasan genuine. Tetapi, bila tidak dibuang, gagasan itu malah jadi biang kemacetan. Menghadapi situasi ini, saya suka menyediakan “kotak sampah ide” untuk mengenyahkan sementara bagian-bagian yang menjadi penyebab kemacetan. Sebelum tulisan selesai, bagian ini tidak perlu di-deleate. Siapa tahu, kita masih bisa mendaur ulang gagasan-gagasan tersebut?
5. Keluar rumah dan bicaralah dengan siapa saja. Ini cara yang paling umum, yaitu keluar rumah dan menjumpai rekan-rekan yang kurang lebih punya minat sama. Kita bisa ketemu mereka di toko buku, mal-mal, kafe, ajang pameran dan diskusi buku, atau cukup ngobrol sejenak dengan tetangga sebelah. Dalam kesempatan ngobrol santai semacam ini, saya suka iseng bertanya kepada mereka soal bagaimana cara mengatasi kebosanan atau kemacetan menulis. Biasanya, mereka jadi antusias bercerita, sementara saya pun ketambahan banyak ide baru. Sama-sama menyenangkan, bukan?
6. Baca lagi artikel-artikel atau buku-buku penulisan yang memotivasi. Untuk artikel-artikel yang memotivasi, kita bisa dapatkan di situs-situs penulisan atau situs penerbit buku. Sementara untuk buku penulisan, favorit saya adalah karya Arswendo Atmowiloto dan Andrias Harefa. Menurut kedua penulis produktif ini, menulis itu gampang sekali. Nah, karena ide-ide mereka yang serba gampang itu, saya pun jadi ikut-ikutan merasa bahwa menulis itu memang gampang. Proses menulis memang harus dibuat gampang, bukan malah dipersulit. Kalau pikiran terus-menerus disugesti bahwa menulis itu gampang, yakin saja, menulis bisa jadi gampang beneran.
7. Baca wawancara-wawancara penulis sukses. Ini salah satu cara favorit saya karena benar-benar bisa memotivasi proses penulisan. Bila saya ingin lebih mengenal gagasan penulis tertentu, saya tinggal mencari wawancara media si penulis melalui mesin pencari Google atau Yahoo. Saya juga suka membaca ulang hasil wawancara saya dengan banyak penulis sukses yang ditayangkan di rubrik wawancara Pembelajar.com. Sambil membaca, saya terus memotivasi diri, bahwa kalau orang lain bisa berhasil, saya pun pasti bisa. Selalu, ada satu atau dua kalimat dari para penulis sukses tersebut yang menginspirasi dan memicu semangat saya untuk melanjutkan proses penulisan.
8. Bertegur sapa dengan penulis-motivator. Selain untuk menghilangkan kejenuhan dan kemacetan, cara ini juga ampuh untuk menaikkan motivasi yang lagi turun. Penulis motivator adalah para penulis yang bisa memberikan inspirasi, dorongan, dan semangat kepada penulis-penulis lain untuk terus berkarya serta lebih produktif lagi. Hanya dengan mengirimkan e-mail atau SMS, serta mendapatkan sepatah dua patah kata yang membesarkan hati, maka semangat bisa timbul lagi. Kalau minta tanda tangan di buku mereka, saya pun biasa minta dituliskan sebuah kalimat penyemangat. Dengan membaca ulang kalimat tersebut, SMS, atau e-mail mereka, semangat menulis naik lagi.
9. Mimpikan sukses dalam dunia penulisan. Ini juga cara favorit saya. Kalau pikiran lagi sulit diajak bekerja dan susah diajak memproduksi gagasan-gagasan bagus, maka ajak saja bermimpi yang enak-enak. Sejak dulu sampai sekarang, saya paling suka bermimpi bisa menulis buku yang terjual ratusan ribu eksemplar, serta menghasilkan royalti sampai miliaran rupiah. Saya juga bayangkan betapa enaknya bisa jadi penulis sukses secara finansial macam JK Rowling, Dab Brown, John Grisham, Robert Kiyosaki, atau Ari Ginanjar, dll. Sambil bermimpi dan membuai diri seperti itu, saya juga selipkan pertanyaan gugatan, “Apa yang sudah kamu lakukan untuk bisa seperti mereka?!”
10. Unjuk sebagian karya ke ranah publik. Cara lain yang tak kalah ampuhnya adalah dengan memublikasikan sebagian tulisan ke berbagai media, seperti buletin internal, forum milis, website, blog, surat kabar, atau majalah. Misalnya, naskah buku kita terdiri dari beberapa bab atau tulisan. Maka, tak ada salahnya memublikasikan sebagian di antaranya ke sejumlah saluran media supaya mendapatkan feedback. Kalau pun tidak ada feedback, kita toh sudah bisa merasakan efek kebanggaan tertentu manakala karya kita bisa dibaca orang lain. Hal-hal kecil ini bisa berdampak positif dan kadang mampu memancing kemungkinan atau peluang-peluang yang tidak pernah diduga sebelumnya.
11. Bergabung dan aktiflah dalam forum atau komunitas penulisan. Banyak forum bisa menjadi sumber inspirasi maupun pemelihara motivasi menulis, seperti pameran buku, acara diskusi atau bedah buku, seminar atau pelatihan menulis. Kadang waktu dan kesibukan begitu membatasi, tetapi minimal bergabung dan pantaulah milis-milis penulisan. Komunitas maya merupakan ajang untuk menjalin network dan berbagi informasi yang nantinya pasti amat kita butuhkan.
Saya teramat yakin bahwa kemacetan menulis semata-mata adalah soal motivasi, bukan soal teknik penulisan. Jika kita bisa membangkitkan motivasi kembali, maka tidak ada lagi kemacetan menulis. Teknik penulisan bisa dipelajari dan didapatkan dengan mudah. Tetapi, menjalankan teknik itu butuh niat, orientasi, dan motivasi. Tanpa motivasi menulis, teknik seampuh apa pun tidak akan jalan. Maka dari itu, begitu kita dapatkan kembali motivasi menulis, segera saja tancap gas dengan menulis cepat dan berusaha menyelesaikan tulisan kita.
Dan, satu lagi yang amat penting. Kita boleh saja mencari sumber-sumber motivasi dari luar diri kita sebagai pelengkap. Tetapi, jangan pernah menggantungkan diri pada sumber motivasi dari luar diri kita. Menggantungkan diri pada pihak atau sesuatu di luar kontrol kita bisa berbahaya sekali. Lebih baik kita terus-menerus mengenali diri kita dan terus belajar mencari cara supaya mampu menumbuhkan motivasi dari dalam. Karena, pusat sumber motivasi harus ada dalam diri kita.[ez]

* Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku best-seller, konsultan penulisan & penerbitan, editor Pembelajar.com, dan trainer di Sekolah Penulis Pembelajar (SPP). Ia juga mendirikan Bornrich Publishing dan Fivestar Publishing yang berhasil menerbitkan sejumlah buku best-seller. Kunjungi blog Edy di: http://ezonwriting.wordpress.com atau email: edzaqeus@yahoo.com.

Jangan Biarkan Rohani Berhenti


Oleh Pdp Tony Tedjo, M.Th*
“Bangsa Indonesia tidak hanya milik segolongan orang saja, melainkan milik bersama mulai dari Sabang sampai Merauke”

“Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud” (Lukas 2:11)

Gaung Natal sudah berkumandang, menandakan bahwa sudah memasuki hari-hari yang sibuk dengan pesta perayaan Natal. Perayaan Natal saat ini tidak hanya dimonopoli oleh umat Kristiani saja, mereka yang berbeda keyakinan pun turut merayakannya. Bahkan, Natal bagi sebagian kalangan dijadikan sebagai ajang bisnis untuk untung yang sebesar-besarnya.
Coba perhatikan toko-toko besar dan mal-mal yang mengubah suasana tempat perbelanjaan mereka menjadi suasana Natal, lengkap dengan pohon natal dan berbagai asesorisnya. Demi mendapatkan untung besar di penghujung tahun, mereka mengadakan diskon besar-besaran dan berbagai acara menarik dengan tema Natal. Sepertinya Natal sarat dengan kemewahan dan pemborosan. Benarkah demikian?
Bila kita melihat makna Natal yang sesungguhnya, ternyata peristiwa Natal itu sendiri penuh dengan kesederhanaan dan kesunyian. Lukas 2:15-16 mencatat bahwa Natal itu bermula dari kelahiran seorang bayi di kota Betlehem. Bayi tersebut dilahirkan bukan di istana raja, di penginapan atau tempat yang layak.
Sebaliknya, Dia dilahirkan di tempat yang hina, yaitu di kandang domba. Hal ini membawa pesan bahwa Yesus lahir ke dalam dunia tanpa memandang keberadaan seseorang. Apakah dia kaya atau miskin? Hina atau mulia? Terpandang atau sampah masyarakat? Semua orang di hadapan-Nya sama, yakni manusia sama-sama sebagai manusia berdosa yang memerlukan keselamatan dari-Nya (Roma 3:10, 23, 6:23).
Kehadiran Yesus yang adalah Allah, ke dalam dunia ini yaitu demi untuk menyelamatkan dosa-dosa manusia yang berdosa dan sudah seharusnya dibuang ke dalam Neraka. “… yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:6-8).
Setiap kali kita merayakan Natal kita selalu diingatkan bahwa kehadiran Natal selalu membawa pengharapan yang baru. Saya mencatatnya ada lima harapan kita di Natal tahun ini, yaitu:
Pertama, harapan untuk kesejahteraan dan keamanan bangsa. Berita-berita yang sering kita dengar bahwa tahun 2009 diprediksi sebagai tahun yang penuh dengan kesusahan dan bencana. Belum lagi menjelang PEMILU, biasanya terdapat berbagai teror bom dan rawan kerusuhan antar kelompok.
Namun, di atas semua hal negatif tersebut kita sebagai orang percaya memiliki pengharapan agar Allah memberkati bangsa ini sehingga diberikan kesejahteraan dan keamanan. Sehingga berbagai kerusuhan bisa dapat dihindarkan. Bagaimana caranya, kita harus mendoakan bangsa kita. Sebab kesejahteraannya merupakan kesejahteraan kita juga (Yeremia 29:7).
Kedua, harapan untuk tetap terjaganya kesatuan dan persatuan bangsa. Keberadaan NKRI sekarang ini sedang dipertaruhkan. Dengan disahkannya beberapa Undang-undang yang isinya mendiskriminasikan kaum minoritas, dapat mengakibatkan perpecahan. Beberapa daerah bahkan sudah mengancam akan mengundurkan diri dari NKRI apabila keadaan seperti ini dibiarkan saja.
Sebagai warga negara yang baik dan sebagai umat Allah, selain mendoakan agar NKRI ini tetap utuh di bawah ikatan Pancasila, kita juga perlu membangkitkan semangat nasionalisme. Bahwa bangsa Indonesia tidak hanya milik segolongan orang saja, melainkan milik bersama dari Sabang sampai Merauke. Sehingga kesatuan dan persatuan tetap terjaga. Yesus sendiri datang untuk membawa persatuan dan kesatuan.
Ketiga, harapan untuk keharmonisan keluarga. Sekarang ini ada banyak keluarga-keluarga, termasuk keluarga Kristen, yang menganggap perceraian sebagai hal yang biasa. Padahal firman Tuhan jelas-jelas melarang agar pasangan yang sudah diikat dalam tali pernikahan tidak boleh diceraikan. “Karena itu apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Markus 10:9).
Mengapa perceraian bisa terjadi? Karena sudah tidak adanya kasih di antara mereka. Itulah sebabnya, ada satu harapan, Yesus datang untuk memulihkan kasih dalam keluarga. Yesus mengadakan mukjizat pertama kali di kota Kana berkaitan dengan pemulihan keharmonisan dalam keluarga (Yohanes 2:1-11).
Keempat, harapan untuk sukses dan berhasil dalam karier. Mengapa sebagian besar orang gagal dalam kariernya? Karena mereka menaruh harapannya kepada manusia dan kekuatannya sendiri. “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan!” (Yeremia 17:5). Agar bisa berhasil, andalkanlah Tuhan saja. “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!” (Yeremia 17:7).
Kelima, harapan untuk bertumbuh dalam iman. Jangan biarkan rohani kita berhenti dan mengalami kemunduran. Bila hal ini dibiarkan akan berdampak buruk pada diri orang percaya tersebut. Harus ada upaya mencegahnya. Ambil komitmen untuk membaca Alkitab secara teratur dan perbanyak jam doa pribadi. Yesus datang untuk membaharui rohani kita. Sehingga kita dapat berbuah dan menjadi berkat bagi orang lain.
Natal membawa harapan baru. Bila semua harapan yang kita harapan seolah sia-sia, jangan putus asa. Ada harapan baru di dalam Yesus. Sebab Yesus datang untuk memberikan pengharapan kepada seluruh umat manusia. Janji-Nya bagi kita selaku orang percaya, “karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:17).
Semoga di Natal ini harapan kita bersinar kembali, sebab Yesus datang memberikan harapan yang baru. Selamat Natal 25 Desember 2008 dan Tahun Baru 1 Januari 2009. Tuhan Yesus memberkati. [Purek III STT KHARISMA Bandung dan Ketua Komunitas Penulis Rohani (KPR) tony_kharis@yahoo.com atau anggi_1234@plasa.com --- dikutip dari Renungan Natal koran Jawa Pos, Kamis 25 Desember 2008]

Rabu, 03 Desember 2008

MANAJEMEN PENERBITAN

UNESCO, salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melaporkan, Indonesia pada tahun 1973 mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, Indonesia tidak menerbitkan satu judul buku pun. Sementara di luar tahun itu, produksi buku di Indonesia berkisar 10.000 judul.
Berbeda dengan negara lain. Jepang contohnya, setiap tahunnya menerbitkan 60.000 judul buku, sementara Inggris jauh lebih besar lagi mencapai 110.155 judul buku. Fenomena tersebut baru ditinjau dari sisi judul buku, belum dilihat dari sisi oplah (jumlah tiras buku yang diterbitkan). Seharusnya, penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta, produksi bukunya lebih besar ketimbang negeri tetangga, termasuk Jepang dan Inggris.
Banyak faktor, mengapa produksi judul dan jumlah buku di Indonesia terbilang rendah. Selain karena daya beli masyarakat, ternyata faktor reading habit (kebiasaan membaca) sangat menentukan. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara saja menduduki peringkat keempat, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Prof. Sigeo Minowa dari Jepang pernah meneliti jumlah uang yang dikeluarkan oleh rakyat Indonesia untuk membeli buku. Dengan menggunakan parameter Book Production Consumption (BPC), diperoleh angka 0,144% untuk Indonesia, dengan asumsi produk buku tahunan 215 juta eksemplar, dan harga jual rata-rata Rp 4000. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Filipina (0,286%) dan negara-negara maju yang mencapai 0,35% (Laporan UNDP, 1994 dalam Taryadi, 1999).
Selama lima belas tahun terakhir, sirkulasi rata-rata per judul buku di Indonesia ditengarai terus menurun. Tahun 2003, IKAPI hanya memproduksi 4000 judul buku baru, jauh dibandingkan Malaysia 10.0000, Jepang 44.000, Inggris 61.000 judul, dan Amerika 65.000 judul.
Dalam dunia penerbitan, ada dua bentuk penerbitan (publishing), yaitu independent publishing dan self-publishing. Independent publishing umumnya adalah sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara independent. Sedangkan self-publishing adalah kegiatan menerbitkan karya-karya sendiri. Dewasa ini jenis penerbitan independent publishing dan self-publishing semakin marak.
Bila dahulu para penulis yang mencari-cari penerbit mana yang kira-kira bisa menerbitkan naskah tulisannya untuk dijadikan sebuah buku. Namun, sekarang dengan banyaknya bermunculan para penerbit independent, keadaannya justru malah kebalikannya. Banyak para penerbit yang berusaha mencari penulis. Bahkan mereka memberikan kemudahan dan berani memberikan royalty yang lebih tinggi dibandingkan penerbit besar.

Manajemen Penerbitan
Manajemen menurut arti katanya adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Dengan adanya manajemen dalam suatu perusahaan diharapkan maka hasilnya menjadi lebih meningkat dan lebih baik dari sebelumnya. “Bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dan sedikit mungkin, bisa membawa hasil yang besar dan banyak. Sehingga perusahaan bisa diuntungkan.”
Dalam penerbitan, manajemen pun diperlukan. Terlepas apakah sistem manajemen yang dijalankan oleh seorang diri atau oleh sekelompok orang. Manajemen yang dijalankan oleh satu orang tentunya akan memiliki hasil terbatas, dibandingkan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Sebab semakin berkembang usaha penerbitan yang dijalankan seseorang, maka dituntut adanya penambahan jumlah personil yang membantu dalam bidang manajemennya.


Beberapa faktor pendukung:
1. SDM: mencakup orang-orang yang berkecimpung di dalam penerbitan ini. Setidaknya ada tiga orang, meliputi bidang keuangan (tugasnya mencatat perputaran keluar masuknya buku dan keluar masuknya uang); bidang pendistribusian, bertugas menyebarkan buku-buku yang sudah dicetak untuk disalurkan ke toko buku atau kepada konsumen langsung; bidang strategi dan perencana, yang mengurusi bagaimana melakukan terobosan-terobosan baru agar buku-buku yang sudah dihasilkan bisa didistribusikan dan sampai ke tangan konsumen dengan baik. Sehingga buku-buku yang sudah dicetak tidak numpuk di gudang, melainkan laku dibeli orang.
2. Uang: berperanan penting dalam usaha ini, sebab tanpa uang maka usahanya ini akan menjadi mandek dan mati. Uang di sini berfungsi sebagai modal. Baik untuk membeli barang-barang bergerak (ex. Mobil) maupun benda tak bergerak (ex. Computer, meja-kursi, alat tulis, bahan baku, dll). Uang juga diperlukan untuk menggaji semua pegawai. Selain itu, adanya uang yang cukup (diharapkan lebih) bisa meningkatkan mutu (baik dari segi quantitas maupun qualitas).
3. Perencanaan: diperlukan untuk menentukan langkah-langkah apa untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di kemudian hari. Apa yang mesti dilakukan apabila mendadak sejumlah judul buku yang dihasilkan laris manis dipasaran. Atau apa yang harus dilakukan apabila buku-bukunya masih numpuk di gudang, tanpa ada yang membeli. Apakah mesti dilakukan obral besar-besaran? Bila dirasa perlu bisa saja.
4. Target dan Promosi: menetapkan siapa sajakah yang menjadi pangsa pasar perusahaan. Apa anak-anak atau orang dewasa? Rohani atau umum? Buku pelajaran atau buku tambahan? Dalam satu bulan berapa banyak buku yang harus laku dipasaran? Apa mesti mengiklankan usaha kita? Bila perlu barter dengan produk lain. Bisa juga dengan membagikan beberapa buku secara gratis (sebagai salah satu cara menarik pembeli).
5. Penjualan: titip di toko buku, grosir atau distributor, penjualan langsung (face to face) atau online. Tentunya masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.

Hak Cipta
Peraturan tentang hak cipta sesungguhnya telah ada sejak jaman Belanda, yakni dengan diberlakukannya UU Hak Cipta tahun 1918. Undang-undang tersebut kemudian digantikan dengan UU No. 62 tahun 1982. Namun isinya dianggap kurang tegas terhadap pelaku tindak kejahatan pembajakan buku. Dalam UU ini ancaman hukuman yang berlaku adalah paling lama 9 bulan dengan denda Rp 5 juta. Baru pada tahun 1987, muncul UU No 7 tentang Hak Cipta , yang menegaskan ancaman hukuman maksimal 7 tahun dengan maksimal denda Rp 100 juta. Begitupun, ternyata pembajakan masih tetap merajalela.
Contoh Penerbit ANDI Yogyakarta
I. PENERBIT ANDI
1.1. SEKILAS PENERBIT ANDI
Sejak awal didirikan Penerbit ANDI konsisten dalam kiprahnya di dunia penerbitan di mana lebih fokus pada buku komputer dan manajemen. Dengan berjalannya waktu serta komitmen perusahaan terhadap kualitas buku yang secara teguh dipegang, menyebabkan buku-buku Penerbit ANDI mendapat tempat tersendiri dihati masyarakat. Peningkatan mutu buku dilakukan baik dengan penyaringan naskah para penulis lokal, maupun bekerja sama dengan penerbit-penerbit luar yang sudah memiliki nama seperti Prentice Hall yang sekarang Pearson Education Asia, Mc Graw Hill, John Wiley, Mac Millan, Bengk Karlof, Harvard dll, serta didukung sumber daya penerbitan dan percetakan yang baik.
Semua itu, tanpa didukung oleh ketersediaan buku di pasar tidaklah lengkap. CV. ANDI Offset sangat aktif dalam memperluas cakupan pemasaran oleh karena itu buku ANDI memiliki jaringan yang luas di seluruh pelosok tanah air, baik di Jawa ataupun di luar Jawa. Hal tersebut sangat mendukung dalam ketersediaan maupun kemudahan buku ANDI didapat / diperoleh masyarakat.

1.2. HUBUNGAN ANTARA PENULIS DAN PENERBIT
Penulis dengan Penerbit memiliki kedudukan setara, dimana secara umum Penulis memandang Penerbit bertindak sebagai intermediary karya-karya yang akan disampaikan kepada masyarakat, sedangkan Penerbit memandang penulis sebagai aset penting perusahaan yang menyebabkan proses penerbitan tetap berlangsung. Secara umum timbulnya dorongan untuk menulis diantaranya sebagai berikut; meningkatkan kredit poit (bagi pengajar), meningkatkan kredibilitas, dan alasan Finansial. Hal tersebut yang memotivasi penulis untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang bermutu.
Kelebihan yang dimiliki Penerbit ANDI adalah sebagai berikut:
Buku ANDI telah memiliki Brand Name tersendiri di hati masyarakat.
Memiliki jaringan distribusi yang luas.
Memiliki mesin cetak sendiri sehingga hasil, kecepatan, dan kualitas dapat diatur dengan baik.
Memiliki sistem royalti yang jelas, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan sinergi kerjasama antara Penulis dengan Penerbit akan memberikan hasil berupa penerimaan masyarakat terhadap buku terbitan ANDI.

1.3. BENTUK ROYALTI PENERBIT ANDI
Secara umum Penerbit ANDI memberikan royalti sebagai berikut: Besar royalty standard adalah berkisar antara 10% sampai 15% per semester, dengan ketentuan sebagai berikut:
· Bagi penulis yang baru pertama kali memasukkan terbitannya ke Penerbit ANDI, berhak mendapat 10% dengan perhitungan: 10% x harga jual x oplah (potong pajak)
· Bagi penulis yang sudah minimal 3 kali atau lebih menerbitkan ke Penerbit ANDI, berhak mendapat 15% dengan perhitungan: 15% x harga jual x oplah (potong pajak)
Mengingat Penerbit ANDI memiliki bentuk kerjasama yang beragam pada saluran distribusi pemasaran maka perhitungan royalti adalah berdasarkan buku yang benar-benar telah terbayar lunas, maksudnya buku yang sifatnya konsinyasi atau kredit belum dianggap sebagai buku laku. Dalam hal ini Penerbit ANDI akan selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan kepada semua relasinya demi menjaga nama baik Penerbit ANDI.

1.4. BENTUK KERJASAMA PENERBITAN
Bentuk Kerjasama penerbitan yang ditawarkan Penerbit ANDI melingkupi:

1.4.1. Kerjasama Penerbit dengan Penulis: Merupakan kerjasama antar Penerbit dengan Penulis secara individu untuk menerbitkan sebuah buku.
1.4.2. Kerjasama Penerbit dengan Lembaga: Merupakan kerjasama antar Penerbit dengan sekelompok penulis yang telah dikoordinasi oleh Lembaga / Institusi untuk menerbitkan sebuah buku. Dalam hal ini Penerbit hanya berhubungan dengan Lembaga / Institusi yang telah diberi kepercayaan oleh penulis.
1.4.3. Kerjasama Umum: Kerjasama cetak, Penerbit hanya membantu dalam jasa percetakannya seperti buku jurnal ilmiah dan sebagainya. Kerjasama cetak dan penerbitan, Penerbit bekerjasama dengan Perorangan / Lembaga untuk menerbitkan sebuah buku dengan tanggungan biaya penerbitan bersama.
1.5. PROSEDUR PENERBITAN BUKU
1.5.1. Materi yang Harus Dikirim. Yang harus dikirimkan ke penerbit adalah:
1. Naskah final, bukan outline ataupun draft, yang disertai dengan:
· Kata Pengantar
· Daftar Isi
· Daftar Gambar*
· Daftar Tabel*
· Daftar Lampiran*
· Isi
· Daftar Pustaka
· Indeks*
· Abstrak (sinopsis)
Catatan: *Tidak perlu disertakan bila memang tidak ada. Penulis diharapakan mengikuti standart Format Penulisan pada sub-bab 1.6
2. Memberi penjelasan mengenai: pasar sasaran yang dituju, prospek pasar, manfaat setelah membaca buku ini.
Profil penulis, memberi keterangan singkat tentang penulis.
1.5.2. Penilaian Naskah
Ada lima sisi , Penerbit menilai naskah:
1.5.2.1. Sudut Ideologis
Apakah topik bertentangan dengan UUD45 dan Pancasila, serta mengandung kerawanan akan kondisi masyarakat seperti : politik, hankam, sara, sopan santun, hargadiri, prifacy dll.
1.5.2.2. Sudut Keilmuwan
· Apakah topik yang dibahas merupakan topik baru bagi masyarakat, dan apakah masyarakat sudah siap menerima topik tersebut?
· Apakah naskah tersebut gagasannya asli atau jiplakan karena hal ini sangat berpengaruh terhadap image penerbit.
· Terkait dengan akurasi data maka diperlukan sumber daftar pustaka yang lengkap.
1.5.2.3. Sudut Penyajian
· Sistematika kerangka pemikiran yang baik sehingga alur logika pemaparan mudah dipahami.
· Bagaimana bahasa yang digunakan apakah komunikatif sesuai dengan jenis naskah dan sasaran sesuai pembaca?.
· Apakah cara penulisannya sudah benar yaitu menggunakan bahasa dan cara penulisan yang baku?
1.5.2.4. Sudut Fisik Naskah
· Kelengkapan naskah secara fisik seperti kata pengantar, daftar isi, pendahuluan, batang tubuh, daftar gambar, tabel, lampiran, index, pustaka, sinposis dsb.
Pengetikan menggunakan apa, apakah tulis tangan, diketik manual, ketik komputer menggunakan softwere teretntu?
Mutu gambar, table dan objek lain yang dipasang (capture) apakah layak atau masih harus mengerjakan lagi?.
Apakah urusan administrasinya beres seperti izin penggunaan gambar tertentu, izin terjemahan dll?
1.5.2.5. Sudut Pemasaran
· Apakah tema naskah mempunyai pangsa pasar jelas dan luas sehingga buku akan dapat dan mudah diterima pasar?
· Apakah naskah memiliki selling point atau potensi jual tertentu?, seperti judul, keindahan, bahasa, kasus aktual dsb.
· Apakah ada buku sejenis yang beredar dan telah diterbitkan?. Apa kelebihan naskah tersebut dibandingkan dengan buku tersebut?
· Apakah diperlukan perlakuan khusus dalam memasarkannya atau perlu promosi khusus?.

1.5.3. Keputusan Menerima Maupun Menolak Suatu Naskah
1.5.3.1. Untuk Apa dan Mengapa Penerbit Harus Menilai Naskah
Penerbit adalah suatu badan usaha yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; mengusahakan, menyediakan, dan menyebarluaskan bagi khalayak umum, pengetahuan, pengalaman hasil karya ilmiah para penulis dalam bentuk suatu sajian yang terpadu, rapi, indah, dan komunikatif baik isi maupun kemasan fisiknya, melalui tata niaga yang dibangun untuk maksud tersebut, dan bertanggung jawab atas segala resiko yang ditimbulkan oleh kegiatannya.
· Dari pengertian mengenai penerbitan di atas dapat disimpulkan bahwa penerbit tidak memiliki maksud untuk menghakimi hasil karya penulis, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menghargai karya tersebut karena pengarang adalah “sumber kehidupan” bagi penerbitan.
· Penilaian naskah bukan untuk menjatuhkan vonis atas naskah yang dinilai baik atau buruk, layak terbit atau tidak layak terbit tetapi merupakan langkah untuk mempertimbangkan apakah dengan menerbitkan naskah tersebut usaha penerbitan secara keseluruhan dapat melelui proses dengan baik dan dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak atau dengan kata lain bahwa penilaian naskah merupakan salah satu upaya memaksimalkan proses sertahasil usaha penerbitan.
· Proses penilaian ini mau tidak mau harus terjadi sehingga perlu adanya komunikasi yang baik antara penerbit dan penulis seperti penerbit jangan meremehkan dan menganggap rendah suatu naskah atau penulis merasa naskahnya sudah yang paling baik.

1.5.3.2. Keputusan Naskah
Setelah Penulis menyerahkan naskah pada Penerbit, paling lambat 1 bulan, Penerbit akan memberikan keputusan untuk terbit atau tidak, yang akan disampaikan melalui surat resmi kepada Penulis.
· Untuk naskah yang diterima, Penerbit akan mengirim surat pemberitahuan resmi akan penerimaan tersebut, serta meminta kelengkapannya - softcopy.
· Untuk naskah yang ditolak akan dikembalikan kepada Penulis bersama dengan pengiriman surat keputusan perusahaan.
1.5.4. Pengiriman Softcopy; Disket atau CD
Anda dapat mengirimkan softcopy naskah dengan cara:
Lewat pos / paket ditujukan:
Penerbit ANDI
Jl. Beo 38-40 Yogyakarta 55281
Telp (0274) 561881; Fax (0274) 588282
Datang langsung ke kantor penerbit dan menemui editor.
Lewat email: andi_pub@indo.net.id

1.6. FORMAT NASKAH
1.6.1. Format Naskah Siap Cetak
Format pengaturan naskah dapat menggunakan Template yang disediakan oleh Penerbit Andi. Format ini merupakan Template standard yang dapat disesuaikan dengan naskah yang sedang ditulis.
Format naskah siap cetak, yang dapat Anda serahkan setelah naskah disetujui untuk diterbitkan adalah sebagai berikut:
· Jenis huruf untuk teks isi: Bookman Old Style, New Century School Book atau Times New Roman 10/11 point.
· Judul bab: font sama dengan teks, ukurannya diatur sedemikian rupa agar tampak menonjol dan serasi dengan ukuran 20 pt
· Judul sub-bab : font sama dengan teks, 18 point, capital, bold.
· Judul sub-sub-bab: font sama dengan teks, 10 point, capital underline
· Header dan Footer: menggunakan font yang berbeda, bisa divariasi bold atau italic asal serasi.
· Footnote : Font sama, 8 point; bisa font yang lain asal serasi.
· Alignment : Justified
· Spacing : Before – 0; After – 0,6
· Line Spacing: Single
· Gambar-gambar tangkapan layar sebaiknya menggunakan format .tif , .jpg Gambar sebaiknya dikirimkan dalam disket/file tersendiri dan dilakukan link terhadap naskah.
1.6.2. Penomeran Halaman:
· Halaman judul : i
· Halaman Copyright : ii
· Halaman Persembahan : iii
· Kata Pengantar : v
· Daftar Isi : vii
· Halaman Isi
· Pendahuluan (Bab I) : 1
· Bab II : 3, 5, 7, 9, dst (selalu halaman ganjil).


SURAT PERJANJIAN PENERBITAN BUKU
No: ___________________


Pada hari ini Hari :______, Tanggal :________, Bulan :________, Tahun : _________ kami yang bertanda tangan dibawah ini :
1. Nama :__________________ Alamat :_____________________________, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
2. Nama :__________________ Alamat:_____________________________, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan ikatan perjanjian penerbitan buku yang berjudul “___________________________” dengan memperhatikan ketentuan dan syarat-syarat tertuang dalam pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 1
(1) PIHAK PERTAMA menyediakan dan menyerahkan pada PIHAK KEDUA naskah yang berjudul “___________________________” yang diketik rapi siap untuk dicetak (Persklaar) lengkap dan muda dibaca disertai dengan gambar-gambar, foto-foto,daftar-daftar yang diperlukan untuk diterbitkan Menjadi buku.
(2) PIHAK PERTAMA menjamin sebagai pemilik sah dari naskah tersebut ayat (1)
(3) Perubahan judul dan isi dari naskah aslinya harus disepakati oleh kedua pihak.

Pasal 2
(1) PIHAK PERTAMA memberikan jaminan bahwa karangannya tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 serta Garis-Garis Besar Haluan Negara, tidak menyinggung hak cipta orang lain dan tidak memuat hal-hal yang dianggap fitnah, penghinaan atau merugikan nama baik pihak lain.

(2) PIHAK PERTAMA bertanggung jawab sepenuhnya apabila dikemudian hari terjadi gugatan oleh pihak lain atas isi naskah tersebut Pasal 1 ayat (1) perjanjian.

Pasal 3
PIHAK KEDUA bersedia menerbitkan naskah tersebut Pasal 1 ayat (1) perjanjian ini menjadi buku untuk keperluan PIHAK PERTAMA dan untuk umum.

Pasal 4
(1) Untuk penerbitan buku tersebut pada Pasal 1 ayat (1) diatas PIHAK KEDUA akan membayar pada PIHAK PERTAMA royalti sebesar ___% dari harga jual bruto (harga jual satuan buku sebelum dikurangi rabat) buku-buku yang terjual.

(2) Perhitungan dan pembayaran royalti akan dilakukan setiap bulan Januari dan Juli dari tahun yang berjalan.

(3) Untuk buku dengan sampul keras (Hard Cover) maka perhitungan royalty sebagai mana tersebut dalam ayat (1) Pasal ini dikurangi harga sampul.

Pasal 5
PIHAK PERTAMA tidak akan menyerahkan naskah atau kutipan naskah yang sama kepada pihak lain intuk diterbitkan.

Pasal 6
Jika terbitnya karya PIHAK PERTAMA habis terjual, maka untuk dilakukan cetak ulang berlaku untuk ketentuan- ketentuan sebagai berikut :

(1) PIHAK KEDUA memberitahukan pada PIHAK PERTAMA tentang maksudnya itu dengan memberikan kesempatan kepada PIHAK PERTAMA untuk mengadakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang dianggap perlu.

(2) PIHAK PERTAMA mengikat diri untuk melakukan pembaharuan dan perbaikan karyanya untuk cetak ulang dengan segera dan sebaik-baiknya.

(3) PIHAK KEDUA berhak menujuk orang lain yang dianggap cakap untuk melakukan perubahan atau perbaikan itu dalam hal PIHAK PERTAMA meninggal atau berhalangan setelah berunding dengan para ahli warisnya atau wakilnya, bila ada.

Pasal 7
(1) PIHAK KEDUA menetapkan oplah cetakan dan harga jual buku.
(2) Pada setiap cetakan akan disisihkan 10% dari seluruh jumlah oplah, untuk keperluan promosi, resensi, dan relasi serta eksemplar eksploitasi lainnya.
(3) Jumlah 10% tersebut ayat (2) dibebaskan dari perhitungan royalty.

Pasal 8
(1) Untuk mengadakan terjemahan atas buku tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) perjanjian ini untuk diperdagangkan, perlu mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA.

(2) Jika PIHAK KEDUA dan PIHAK PERTAMA sepakat memberikan izin kepada pihak ketiga untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya PIHAK PERTAMA dalam bahasa lain maka PIHAK KEDUA akan membebaskan ___% dari royalty yang diterimanya dari pihak ketiga tersebut kepada PIHAK PERTAMA.

(3) Jika terjemahan dan penerbitan dalam bahasa lain diselenggaraka sendiri oleh PIHAK KEDUA, maka kepada PIHAK PERTAMA akan diberikan royalty sebesar ___% dari harga jual bruto terbitan dalam bahasa lain. Pembayaran royalty tersebut ayat (3) dilakukan menurut ketentuan Pasal 4.

Pasal 9
Apabila Pihak Pertama meninggal dunia, maka hak dan kewajiban yang timbul akibat Surat Perjanjian ini beralih kepada:
a. Nama : ____________________________
b. Hubungan keluarga : ____________________________
c. Tempat tinggal : ____________________________

Pasal 10
(1) Apabila terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini, kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah mufakat.

(2) Apabila penyelesaian dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk menyelesaikannya secara hukum melalui pengadilan negeri /niaga Jakarta Pusat

Pasal 11
Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak pertama dan kedua sebagai addendum dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.

Pasal 12
Perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua) asli, masing-masing sama bunyinya di atas kertas bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditandatangani oleh masing-masing pihak.

PIHAK KEDUA PIHAK PERTAMA

(Direktur ITS Press) (Penulis)

(bahan SOW Angkatan ke-1, 24 November 2008 disampaikan oleh Tony Tedjo, M.Th)

Senin, 03 November 2008

MENGAPA PENDETA TIDAK SUKA MENULIS?


Setiap tanggal 9 Februari kita memperingati Hari Pers Nasional. Kita seharusnya bangga bahwa kita memiliki hari pers nasional. Namun, budaya membaca, terlebih budaya menulis sangat kurang diminati. Kecenderungan orang pada masa kini adalah budaya dengar dan lihat. Apa yang didengar dan apa yang dilihatlah yang biasa diterapkan. Dengan asumsi bahwa mendengar dan melohat (menonton) tidak perlu memeras otak. Asumsi ini didukung pula oleh pandangan sekelompok orang yang memegang prinsip “serba praktis dan instant”. Maksudnya tidak usah cape-cape membaca atau menulis, toh dengan mendengar atau melihat saja kan lebih mudah dimengerti.
Anggapan-anggapan senada juga diajukan tidak hanya di kalangan pelajar atau mahasiswa, di lingkungan gereja pun budaya ini bertumbuh subur. Kita bisa melihatnya berdasarkan dugaan secara umum, bahwa kebanyakan para pendeta lebih senang untuk mengutarakan pesan firman Tuhan melalui kaset atau vcd ketimbang buku. Ada beberapa kemungkinan yang bias dijadikan alasan.
Pertama, tidak ada waktu. Jadual pelayanan yang padat, kurangnya waktu untuk mencatat, sibuknya melayani orang sakit, banyaknya jemaat yang mau dibaptiskan, padatnya acara kebaktian dan kesibukan membimbing jemaat yang akan menikah, menjadi alasan yang masuk akal mengapa para pendeta tidak ada waktu untuk menulis.
Kedua, tidak terbiasa. Kebiasaan seseorang sangat mempengaruhi kehidupannya. Ada banyak pendeta yang setiap kali berkhotbah tidak membuat kerangka khotbah yang akan dikhotbahkan terlebih dahulu. Mereka sudah terbiasa membawakan firman Tuhan secara langsung. Istilahnya, mengalir apa maunya Roh Kudus. Ini memang benar, namun sangat disayangkan bila bahan khotbah yang hendak disampaikan itu tidak didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan. Bahan-bahan khotbah yang sudah dituliskan tersebut kan bisa dikumpulkan dan dibukukan, sehingga lebih efektif dan efisien untuk membina pertumbuhan jemaat.
Ketiga, tidak bisa. Memang, sebagian orang berpendapat bahwa menulis itu diperlukan suatu bakat khusus atau paling tidak harus belajar dahulu bagaimana untuk menulis. Namun sebenarnya, bila ada kemauan orang yang tadinya tidak bisa akan menjadi bias, bila sudah mencobanya berulangkali. Sama halnya dengan seorang anak kecil berusia empat tahun yang sedang belajar mengendarai sepeda. Bukankah tidak diperlukan bakat khusus untuk bisa mengendarai sepeda? Cukup dengan ketekunan untuk tidak cepat menyerah, maka akhirnya dia bias mengendarai sepeda dengan baik. Demikian pula dengan menulis. Tekun dan giat berlatih akan mengasah ketrampilan untuk menulis sehingga mahir.
Empat, honornya kecil. Sebagian orang berpendapat bahwa bila menulis di suatu majalah atau membuat suatu buku itu tidak dihargai. Honornya kecil dan tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan. Itulah sebabnya, banyak orang yang enggan untuk menulis. Lebih cenderung untuk memilih secara lisan saja.
Lima, malas. Sifat malas menjadi alasan terakhir mengapa mereka tidak mau menulis. Malas menuangkan kata-kata ke dalam bentuk tulisan. Malas mengetik. Masal akalu tulisannya dianggap jelek. Malas memperbaiki kembali bila ada tulisan yang salah. Kemalasan merupapan alasan klasik yang tidk bisa dipungkiri lagi.

Solusi
Menulis itu penting, apapun alaannya menulis tetap harus dikembangkan. Pendeta pun jangan mau ketinggalan dengan jemaatnya. Pendeta pun jangan mau ketinggalan budaya menulis bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Jangan sia-sia firman Tuhan yang sudah ditaburkan, tampunglah dengan tulisan menjadi sebuah buku.
(Karya Tony Tedjo, artikel ini telah dimuat pada Majalah BAHANA edisi Februari 2004. Tony Tedjo adalah pendiri dan ketua Komunitas Penulis Rohani /KPR; ketua dan pendiri Sekolah Menulis Alkitabiah /SOW; dan owner penerbit AGAPE)

Jumat, 10 Oktober 2008

JURUS-JURUS MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN


Allah berjanji bahwa orang percaya pasti memiliki masa depan. Janji ini tertuang dalam Amsal 23:18 “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang”. Ayat firman Tuhan ini memberikan suatu harapan bahwa bagi kita selaku orang percaya pasti ada masa depan. Masa depan kita tidak akan hilang. Sebab Allah merancangkan rancangan-Nya yang mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang dikasihi-Nya, bukannya mendatangkan kecelakaan. Rancangan damai sejahtera ini diberikan kepada orang percaya sehingga memiliki hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).
Setelah mengetahui bahwa ada kepastian akan masa depan, maka tidak berhenti sampai di sini. Perjalanan masih panjang. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengisi masa depan kita sehingga bisa lebih maksimal dan efektif. Menjadi orang yang bukan biasa-biasa saja, melainkan orang yang luar biasa. Tentunya dalam mencapai hal ini kita harus bersifat aktif dan proaktif, artinya tidak bermasa bodoh atau berdiam diri menunggu “durian jatuh”. Menyikapi hal ini, paling tidak disarankan tiga hal berikut:
Pertama, memakai kemampuan (talenta, bakat dan karunia) yang sudah Tuhan berikan kepada kita secara maksimal. Sehingga hasil yang diperolehpun hasil yang maksimal. Sebagai contoh, misalnya apabila Anda adalah seorang pelajar atau mahasiswa, maka tempuhlah studimu secara maksimal. Jangan cepat merasa puas hanya memperoleh gelar sarjana. Bila ada kesempatan, kenapa tidak kita mengambilnya untuk mengembangkan studi kita. Apalagi bila keuangan dan usia mendukung (masih muda). Maka jangan ambil pusing, maksimalkanlah potensi Anda untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi (mencapai doktor bila dimungkinkan). Sebab ada perbedaan bila suatu bidang ditangani oleh seorang sarjana dibandingkan dengan seorang doktor yang merupakan pakar dibidangnya. Tentunya, hal ini membawa dampak yang lebih besar ketimbang hanya menjadi sarjana. Atau contoh lainnya, bila Anda mempunyai talenta bermain musik. Maka kembangkanlah itu. Bila dimungkinkan sekolah musik. Sampai Anda menjadi seorang yang ahli menguasai alat musik tersebut. Sehingga melalui permainan musikmu banyak orang diberkati, bahkan bila memainkan musik rohani banyak orang yang dimenangkan bagi Tuhan melalui permainanmu. Pada intinya, apapun karunia, bakat atau talenta yang kita miliki, pakailah semuanya itu untuk kemuliaan nama Tuhan saja.
Kedua, membagikan berkat yang sudah Tuhan berikan kepada orang lain yang membutuhkan. Berkat yang bisa dibagikan di sini ada dua hal, yaitu berkat jasmani dan berkat rohani. Berkat jasmani yang dibagikan bisa berupa makanan, barang, maupun uang. Kita yang sudah diberkati Tuhan dengan berkat yang lebih, bisa menyalurkan kepada mereka yang berkekurangan dan memerlukan. Sebab ada begitu banyak orang miskin atau orang yang memerlukan uluran tangan kita, agar mereka bisa bertahan hidup. Dengan demikian, orang-orang yang kita bantu bisa merasakan kasih Tuhan Yesus yang dibagikan melalui bantuan kita kepadanya. Sedangkan berkat rohani yang dibagikan adalah memberitakan Kabar Baik (Injil) bagi mereka yang tersesat dan sedang mencari jalan kebenaran. Bagi orang-orang yang di luar Tuhan, mereka perlu diceritakan bahwa ada berita bahagia. Keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah kepada manusia yang berdosa. Cara yang sangat mudah adalah dengan menjadi terang dan garam di tengah lingkungan masyarakat di mana kita berada. Biarkan orang lain melihat perbedaan tersebut. Sehingga akhirnya mereka akan bertanya-tanya dan menanyakan sendiri kepada kita mengenai rahasianya. Di sinilah kesempatan bagi kita untuk menceritakan siapa Yesus Kristus itu. Mengapa Yesus mati di atas kayu salib. Dan jangan terlewatkan, bahwa Yesus menjaminkan diri-Nya bahwa Dia adalah Jalan keselamatan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6).
Ketiga, membekali diri dengan Alkitab (back to Bible). Alkitab dijadikan sebagai dasar dan sandaran dalam memberikan keputusan atau bertindak. Alkitab menjadi pelita dalam menerangi jalan hidup kita yang berada di tengah kegelapan dunia (Mazmur 119:105). Menjadikan kebiasaan membaca Alkitab sebagai gaya hidup. Membaca secara seksama, merenungkan, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekali firman Tuhan inilah maka kehidupan rohani kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran dunia yang pada ujungnya menuju kepada maut. Menghindarkan diri dari jerat-jerat ajaran sesat yang diajarkan oleh guru-guru palsu.
Memang, setelah menjalankan ketiga hal di atas, tidaklah membuat kita menjadi kebal terhadap godaan untuk tenggelam dalam geloranya. Akan tetapi paling tidak kita mampu bertahan dan bisa menghindari berbagai jerat-jerat maut yang ditawarkan oleh dunia dan oleh Iblis. Sehingga pada akhirnya masa depan kita benar-benar masa depan yang penuh harapan. (Tony Tedjo)

Rabu, 08 Oktober 2008

POTENSI DAN MANFAAT SELF-PUBLISHING

Tren penerbitan mandiri (self/independent publishing) sudah tak terbendung lagi. Kini, semakin banyak saja individu atau lembaga dari berbagai strata sosial dan ekonomi memanfaatkannya. Keberadan mereka, di satu sisi sungguh-sungguh semakin menggairahkan dinamika penerbitan nasional. Namun di sisi lain, menjamurnya penerbitan mandiri juga berarti “tercuri”-nya sebagian dari ceruk atau potensi pasar penerbitan-penerbitan umum. Walau begitu, sejauh tren tersebut semakin memperkaya khasanah perbukuan nasional, rasanya patut disambut positif.
Mengapa self/independent publishing menggejala bahkan bisa dikatakan semakin ngetren? Barangkali, itu merupakan pendobrakan atas dominasi cara penerbitan sebelumnya yang masih didominasi oleh penerbitan-penerbitan umum. Begitu kran demokrasi dibuka lebar-lebar, soal penerbitan pun bukan sesuatu yang sakral lagi dan sekarang semua orang bisa melakukannya.
Pada prinsipnya, keuntungan terbesar yang bisa diraih manakala kita menjadi self-publisher adalah pada kebebasan untuk menentukan apa pun bentuk, rupa, dan isi buku yang kita terbitkan nantinya. Namun demikian, ruang bebas itulah yang sejatinya bisa kita tarik-ulur untuk mendapatkan berbagai potensi dan manfaat lainnya. Saya coba ulas secara singkat di bawah ini.
1. Penampung tema-tema buku di luar mainstream penerbitan. Bukan rahasia lagi, salah satu alasan self-publishing adalah kesulitan penulis untuk mendapatkan penerbit yang mau menerbitkan naskahnya. Terlebih bila naskah tersebut tidak memenuhi standar kualitas atau tidak segaris dengan kepentingan, visi, dan misi penerbit. Terkadang, naskah-naskah yang membahas tema sangat spesifik, naskah peka dan bertendensi kontroversi, naskah sangat unik, naskah pembelaan (buku putih), atau naskah propaganda, kurang diminati penerbit umum.
Di sinilah alternatif self-publishing menjadi solusi. Kalau kita menjadi self-publihser, kita bisa menerbitkan naskah jenis apa pun sepanjang itu memenuhi kepentingan dan kebutuhan kita. Soal kualitas isi, format, kemasan, redaksional, dan hal teknis lainnya, kita sendirilah yang menetapkan. Bagi kalangan tertentu, sifat merdeka self-publishing tersebut begitu dinikmati dan dirasa mendatangkan kemanfaatan yang tak terbandingkan.
2. Manfaat branding institusi atau personal. Sudah tidak terbantahkan lagi, selain menjadi medium penyampai ide, pesan, dan gagasan, buku juga bisa dikemas sebagai communications tools. Bahkan belakangan, buku menjadi bagian atau pilihan dari strategi branding (penciptaan dan pengembangan merek diri). Buku adalah tenaga “humas” atau pemoles citra yang efektif, dan semakin sering menjadi pilihan alat untuk menggapai brand awareness pribadi maupun lembaga.
Nah, bila kita menjadi self-publihser, kita punya kuasa sepenuhnya untuk memanfaatkan potensi buku sebagai brand creator atau bahkan brand domination. Lihat bagaimana Hermawan Kartajaya yang biasa menggunakan penerbitan besar dan mapan, akhirnya toh membuat penerbitan mandiri demi semakin memoles brand MarkPlus&Co. Simak pula bagaimana Andrie Wongso mengukuhkan dominasi kiprah kemotivatorannya dengan penerbitan mandiri AW Publishing.
Ke depan, saya semakin yakin bahwa akan semakin banyak tokoh, lembaga, pribadi, atau kaum profesional yang memanfaatkan self-publishing sebagai leverage factor bagi kiprah publik atau karier mereka. Sebab, selain relatif lebih murah pembuatannya ketimbang pasang iklan di media massa cetak atau televisi, buku juga masih jauh lebih dihargai sebagai karya intelektual yang serius.
3. Manfaat iklan internal dan potensi iklan eksternal. Salah satu potensi yang belum banyak disadari atau dimanfaatkan oleh para self-publisher adalah potensi iklan dalam buku. Memang, pemanfaatan sebagian halaman buku bagi iklan internal (produk-produk sendiri) sudah umum sifatnya. Kebanyakan, iklan internal berisi judul-judul buku lain yang diterbitkan, iklan pelatihan, company profile, atau produk-produk penerbit mandiri lainnya yang masih relevan dengan judul buku.
Tetapi, potensi buku tema-tema tertentu dalam menggaet iklan atau sponshorship pihak luar tampaknya belum termanfaatkan secara maksimal. Padahal, buku-buku hobi, panduan, atau product knowledge selalu bersinggungan dengan produk-produk massal yang relevan. Ini berarti potensi iklan dan sudah selayaknya dimaksimalkan.
4. Potensi penjualan langsung. Salah satu alasan menarik mengapa sekarang begitu banyak profesional, lembaga konsultan, biro pelatihan, trainer, pembicara publik, pengajar, termasuk rohaniawan/pendakwah membentuk self-publishing adalah potensi penjualan buku secara langsung. Biasanya, kalau mereka menerbitkan buku di penerbitan umum, mereka hanya mendapatkan royalti sekitar 10 persen atau rabat pembelian langsung ke penerbit maksimal 30 persen (sebagian penerbit berani memberi diskon hingga 45 persen untuk pembelian tunai dalam jumlah besar).
Situasi akan berbeda hampir 180 derajat kalau mereka membuat penerbitan dan menerbitkan sendiri karyanya. Mereka bisa mendapatkan keuntungan maksimal atau nyaris bulat jika menerbitkan dan menjualnya sendiri. Seorang trainer, motivator, pembicara publik, atau pendakwah yang memiliki audiens/captive market yang jelas yang pasti jauh lebih mudah menjual sendiri bukunya. Saya menyaksikan, seorang pembicara publik bisa menjual buku sendiri 300-400 eksemplar sekali seminar selama dua jam. Bandingkan dengan rata-rata jumlah penjualan di toko buku dalam situasi normal. Jauh sekali, bukan?
5. Potensi bisnis penerbitan. Sebuah buku terbitan sendiri yang sukses atau laku keras jelas membuka peluang penerbitan buku-buku berikutnya. Dalam hitung-hitungan sederhana, sebuah judul buku yang laris (sekali cetak) hasilnya bisa digunakan untuk sekali cetak ulang dan cetak satu judul baru. Kalau lebih efisien lagi production cost-nya, perbandingannya bisa satu buku sukses kemudian menghasilkan sekali cetak ulang judul lama dan cetak lagi satu setengah judul baru. Rasio inilah yang bila dikelola dengan baik bisa mentransformasi self-publishing menjadi bisnis penerbitan berskala besar.
Nah, silakan menyimak kasus berikut ini. Untuk satu judul buku saja, ESQ, karya Ari Ginanjar yang diterbitkan sendiri itu bisa sampai tercetak 500.000 eksemplar lebih. Taruh saja asumsi sekali cetak sekitar 5.000 eksemplar (faktanya pasti lebih), berarti buku itu sudah 100 kali cetak. Masih dengan rasio sekali cetak untuk satu judul menghasilkan sekali cetak ulang dan sekali cetak satu judul baru, maka hitungan terkasar menunjukkan minimal ada 200 judul baru bisa diproduksi. Ingat, itu baru dari satu judul buku yang sukses fenomenal (mega-bestseller) dan meng-generate potensi penerbitan judul-judul baru lainnya.
Dari hitung kasar saya dan dengan harga konstan buku Rp45.000 (2001-2007), satu judul ESQ (baik diterbitkan sendiri atau misalnya diterbitkan penerbit lain) tadi sudah memberikan pendapatan royalti kepada penulisnya sebesar Rp2,125 miliar. Apabila self-publishing Ary Ginanjar menggunakan distributor berdiskon 50 persen, pendapatan yang diraih sebesar Rp10,625 miliar atau net profit Rp4,250 miliar (nyaris Rp50 juta per bulan).
Apabila separuh saja dari oplah 500.000 eksemplar itu dijual secara direct selling melalui pelatihan-pelatihan, maka pendapatan yang diraih mendekati Rp16 miliar. Atau, jika seluruh oplah buku tersebut dijual melalui direct selling, maka hasil yang dinikmati oleh penerbitan sendiri ini mencapai Rp21,250 miliar. Makanya, siapa bilang jadi penulis dan penerbit mandiri nggak bisa jadi miliarder he he he…?![ez]
* Edy Zaqeus adalah seorang editor profesional, konsultan, self-publisher, dan penulis buku laris Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller (Fivestar, 2008). Ia dapat dihubungi melalui email: edzaqeus@gmail.com atau melalui website: www.pembelajar.com dan weblog: http://ezonwriting.wordpress.com. Catatan: Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Majalah MATABACA Volume 6, No.12, Agustus 2008 (Edisi Khusus Ulang Tahun).